Penanggulangan HIV/AIDS
Di Kabupaten Jayapura
2012
LATAR
BELAKANG MASALAH
Penyakit Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah adalah sekumpulan gejala penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat Infeksi virus Humman Immunedeficiency Virus (HIV) yang menyerang sel darah putih manusia. Penderita HIV/AIDS
akan berkurang kekebalan tubuhnya dan rentan terkena infeksi oportunistik.
Penyebaran HIV/AIDS ditimbulkan melalui hubungan seks bebas, transfusi darah, jarum
suntik yang terkontaminasi dan juga kontak lain dengan cairan tubuh. HIV/AIDS menjadi salah satu penyakit dengan tingkat penyebaran cukup
tinggi di Indonesia.
Kini permasalahan
HIV/AIDS bukan sekedar pada penularan dan penyebarannya, akan tetapi juga pada
kehidupan sosial penderita HIV/AIDS. Hal inilah yang menjadi dasar
mengapa kasus HIV/AIDS menjadi masalah yang banyak dibahas di Indonesia.
Wilayah yang memasuki level menyeluruh dalam
penyebaran HIV/AIDS adalah di Provinsi Papua. Kasus HIV/AIDS di Papua pertama
kali ditemukan pada tahun 1992. Menurut catatan Departemen Kesehatan pada tahun
2010 Papua menempati posisi tertinggi ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur
dengan jumlah kasus penderita HIV/AIDS. Akan tetapi tingkat penyebaran HIV/AIDS
terus meningkat setiap tahunnya di Papua, pada tahun 2012 tercatat 13.476 orang
terinfeksi HIV/AIDS di Papua. Hal ini menyebabkan Papua sebagai Provinsi dengan
kasus HIV/AIDS terbanyak kedua setelah DKI Jakarta.
Tabel 1. Jumlah Kumulatif Kasus HIV
& AIDS Berdasarkan Provinsi
No.
|
Provinsi
|
HIV
|
AIDS
|
1
|
DKI. Jakarta
|
20,775
|
5,118
|
2
|
Papua
|
8,611
|
4,865
|
3
|
Jawa Timur
|
11,282
|
4,663
|
4
|
Jawa Barat
|
6,315
|
4,043
|
5
|
Bali
|
5,393
|
2,755
|
6
|
Jawa Tengah
|
4,017
|
1,948
|
Sumber: Ditjen
PP & PL Kemenkes Republik Indonesia, Juni 2012
Di Kabupaten Jayapura sendiri pada Maret 2010 tercatat
penderita HIV/AIDS sebanyak 477 orang, yaitu 199 orang berasal dari kalangan
ibu rumah tangga, 102 orang dari kalangan PSK. Munculnya kasus
penyebaran HIV/AIDS di Jayapura sebagian besar disebabkan oleh aktivitas seks bebas terutama yang dilakukan oleh
Pekerja Seks Komersial (PSK) maupun kehidupan seks bebas yang muncul di masyarakat.
Maraknya
penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura menjadi permasalahan publik yang
ditanggapi serius oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura. Dalam menanggapi kasus
penyebaran HIV/AIDS yang semakin marak tersebut, Pemerintah Kabupaten Jayapura
mengeluarkan Perda Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS dan IMS.
Peraturan daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura
tersebut merupakan Perda
pertama di Indonesia yang membahas tentang penanggulangan HIV/AIDS. Peraturan
Daerah yang dibuat tersebut telah dirumuskan dan diimplementasikan. Akan tetapi
pada praktiknya masih terdapat beberapa kendala dalam proses implementasi
kebijakannya.
Dalam karya tulis ini akan kami membahas analisis implementasi
kebijakan penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Jayapura beserta para stakeholder yang berada di dalam program tersebut.
Analisis implementasi yang akan kami sajikan menggunakan model analisis
implementasi menurut Edward III, yang didalamnya menitikberatkan pada sektor
internal pelaksana program melalui empat indikator yaitu komunikasi, struktur
birokrasi, sumber daya, dan disposisi yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya
implementasi kebijakan publik.
Selain itu, juga akan di analisis menggunakan teori kelayakan kebijakan David
C. Korten.
PEMBAHASAN
HIV/AIDS merupakan isu
kebijakan publik paling global. HIV/AIDS telah menyebar ke seluruh dunia,
sementara obat yang manjur untuk mencegah dan menyembuhkan HIV/AIDS belum
ditemukan. Saat ini HIV/AIDS bukan semata-mata masalah kesehatan, akan tetapi
telah memiliki implikasi politik, ekonomi, sosial, etika, agama, dan hukum
(Haryanto,dkk. 2010).
Papua sebagai Provinsi yang
berada paling timur di Indonesia merupakan Provinsi dengan jumlah kasus
HIV/AIDS tertinggi kedua di Indonesia. Tercatat hingga Juni 2012 jumlah
penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS mencapai 13.476 orang (sumber: Ditjen PP & PL Kemenkes RI), akan tetapi menurut Ketua Komisi Penanggulangan
AIDS Dearah (KPAD) Provinsi Papua dr. Constant Karma (2009) menyebutkan
diperkirakan 29.000 orang Papua hidup dengan HIV/AIDS dan diperkirakan sebagian
besar merupakan bagian dari komunitas yang tinggal di wilayah yang sulit
diakses dan daerah pedalaman (Haryanto,dkk. 2010).
Menanggapi semakin parahnya
kasus HIV/AIDS di Papua, pemerintah Kabupaten Jayapura merespon dengan cepat
melalui Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Langkah yang diambil Pemkab Jayapura patut
mendapat apresiasi, sebab Perda ini merupakan perda tentang HIV/AIDS pertama di
Indonesia. Walaupun pada awalnya ketersediaan dana sangat minim, namun dana
tersebut mampu menggerakkan implementasi Perda tersebut.
Secara normatif, tujuan dari
Perda Nomor 20 tahun 2003 adalah menekan laju HIV/AIDS di wilayah Kabupaten
Jayapura (Haryanto,dkk. 2010). Tujuan ini sangat jelas, sehingga mampu menjadi
pedoman bagi para implementor dalam melaksanakan Perda tersebut. Jika ditelaah
lebih jauh, Perda ini sebenarnya bertujuan untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat dalam menanggulangi masalah HIV/AIDS di Jayapura. Melalui
pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu menekan laju penyebaran penyakit
HIV/AIDS, diantaranya dengan mencegah terjadinya penularan kepada orang sehat,
melibatkan peran serta LSM yang concern pada
masalah HIV/AIDS, dan juga meminimalisir stigma di masyarakat mengenai
HIV/AIDS, sehingga pengidap HIV/AIDS juga dapat hidup normal di dalam
masyarakat.
Adapun aktor yang terlibat
dalam implementasi Perda Nomor 20 tahun 2003 diantaranya Dinas Kesehatan dan
Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jayapura sebagai representatif Pemerintah
Kabupaten Jayapura, NGO/LSM, dan masyarakat. Selain itu, pemerintah Kabupaten
Jayapura memilih menerapkan instrumen penggunaan kondom saat berhubungan
seksual beresiko. Instrumen penggunaan kondom dipilih berdasarkan data yang ada
menunjukan bahwa 97% lebih kasus penyebaran HIV/AIDS di Papua menular melalui
hubungan seks bebas.
Analisis
Impementasi Kebijakan
Implementasi
kebijakan merupakan studi penting dari kajian ilmu administrasi publik,
khususnya ilmu kebijakan publik. Sebuah kebijakan tidak akan membawa manfaat
bagi masyarakat luas tanpa adanya implementasi. Budi Winarno (2008) menyatakan
bahwa implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses
kebijakan publik, dan suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Kegiatan
implementasi juga merupakan aktivitas kompleks dan rumit. Smith dan Larimer
(dalam Haryanto,dkk.
2010)
menyatakan implementasi kebijakan merupakan one
of the most complex areas in policy studies. Dikatakan kompleks karena pada
fase implementasi merupakan area bertemunya para aktor politik, eksekutif,
birokrasi, dan masyarakat, terlebih dalam model deliberative policy yang melibatkan lebih banyak stakeholder di dalamnya (Haryanto,dkk. 2010).
Implementasi kebijakan
publik juga dikatakan sebagai aktivitas yang rumit, sebab banyak faktor yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Kebijakan publik yang telah
direkomendasikan untuk dipilik oleh policy
makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam
implementasinya, sebab ada banyak variable yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan baik yang bersifat individual, kelompok atau institusi
(Subarsono, 2011).
Terkait dengan kasus
HIV/AIDS di Jayapura, Pemerintah Kabupaten Jayapura berupaya menanggulanginya
dengan mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Sejak Perda ini diimplementasikan hingga
saat ini, justru jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS semakin bertambah.
Meskipun demikian, fenomena tingginya kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura,
tidak semata-mata dikarenakan kegagalan dalam mengimplementasikan kebijakan.
Sebab kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura seperti ‘gunung es’, artinya dipermukaan
tidak begitu nampak, akan tetapi di dalamnya sangat pesat penyebarannya. Oleh
karena itu dibutuhkan waktu yang relatif lama dan juga kegiatan yang bersifat
kontinu dalam menanggulangi kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura.
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa keberhasilan implementasi kebijakan sangat
dipengaruhi oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing varibel
tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Maka untuk lebih memahami
implementasi kebijakan (Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencagahan
dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS) di Kabupaten Jayapura, harus terlebih
dahulu dipahami berbagai variabel yang mempengaruhinya. Dalam hal ini akan
digunakan teori impelementasi dari George C. Edwards III dan David C. Korten. Berikut ini pembahasannya:
1. Teori
Implementasi George C. Edwards III
Model Implementasi kebijakan
publik yang dikemukakan oleh Edward menunjuk empat variabel yang berperan
penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi, empat variabel tersebut adalah
komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi (dalam Indiahono,
2009). Keempat variabel ini saling memiliki keterkaitan dan saling bersinergi
satu dengan yang lainnya.
a.
Komunikasi
Setiap kebijakan akan dapat
dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana
program dengan kelompok sasaran. Selain itu, apa yang menjadi tujuan dan
sasaran kebijakan juga harus dipahami dengan baik oleh pelaksanan dan juga
penerima/sasaran program.
Pada kasus implementasi
kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura, dapat terlihat dengan
jelas bahwa komunikasi tidak berjalan dengan baik antara pelaksana dan penerima
program. Hal ini terlihat dengan hanya menjadikan masyarakat, khusus pekerja
seks komersil sebagai objek kebijakan. Masyarakat tidak dilibatkan sebagai
subjek kebijakan, padahal dalam pasal 6 ayat 3 Peraturan Daerah Nomor 20 tahun
2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS, disebutkan bahwa ‘Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama, sedangkan
pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan
menciptakan suasana yang mendukung.’ Apa yang tertuang dalam pasal tersebut, mengarah pada terwujudnya
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Padahal masyarakat, sangat
membutuhkan informasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS. Khusus untuk pekerja
seks komersil, mereka sebenarnya memegang peranan penting dalam penyebaran
HIV/AIDS, oleh karena itu, mereka seharusnya diberikan pengetahuan (komunikasi)
yang baik mengenai HIV/AIDS, hal ini penting guna menghambat penyebaran
penyakit tersebut.
b.
Sumber
Daya
Sumber daya yang dimaksud
disini adalah sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Berdasarkan hasil
penelitian Haryanto, dkk (2010) disebutkan bahwa implementasi kebijakan
pencagahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura masih terkendala
masalah sumber daya manusia, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Ketersediaan tenaga kesehatan di Kabupaten Jayapura khususnya untuk penanganan
penderita HIV/AIDS masih sangat kurang. Penderita HIV/AIDS memerlukan tenaga
profesional tidak saja untuk pengobatan akan tetapi juga dukungan psikologi dan
sosial. Hal tersebut menyebabkan kesulitan pemberdayaan penderita HIV/AIDS.
Selain sumber daya manusia,
faktor finansial juga memegang peran penting dalam keberhasilan implementasi
kebijakan. Penderita HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura setiap tahunnya terus
meningkat, hal ini tentunya membawa konsekuensi semakin besarnya dana yang
harus disediakan tiap tahunnya. Pendanaan yang semakin besar mengingat
penderita HIV/AIDS harus mengkonsumsi ARV sepanjang hidupnya, selain itu
pemerintah juga harus memberikan dukungan kepada para penderita HIV/AIDS karena
umumnya mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif di masyarakat.
Pemerintah Kabupaten
Jayapura mengalami kesulitan pendanaan dalam pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS, untuk mengatasi masalah pendanaan, pemerintah selama ini tergantung
kepada bantuan lembaga donor asing. Hal ini bisa dikatakan cukup baik, akan
tetapi perlu menjadi perhatian pemerintah adalah bantuan lembaga donor biasanya
hanya bersifat sementara, sedangkan kesuksesan penanggulangan HIV/AIDS
membutuhakn kesinambungan program-program.
c.
Disposisi
Disposisi menunjukan
karakteristik implementor kebijakan seperti komitmen, kejujuran, dan
demokratis. Dalam hal komitmen, pemerintah Kabupaten Jayapura seperti sangat
serius dalam penanggulangan HIV/AIDS. Terbukti dengan diterbitkannya Perda yang
konsen dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, sekaligus merupakan perda
pertama di Indonesia yang fokus pada masalah HIV/AIDS. Komitmen juga ditunjukan
dengan sering terlibat langsungnya kepada daerah dalam berbagai kegiatan
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di lapangan.
Yang masih harus menjadi
perhatian adalah faktor kejujuran dan demokratis. Belum dilibatkannya
masyarakat secara langsung dalam berbagai program pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS membuktikan belum demokratisnya pemerintah Kabupaten Jayapura dalam
implementasi kebijakan.
d.
Struktur
Birokrasi
Struktur birokrasi
pemerintah Kabupaten Jayapura dalam mengimplementasikan kebijakan pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS dikatakan cukup baik. Selama ini pemerintah
Kabupaten Jayapura cukup terbuka dalam membangun kerja sama dengan pemerintah
provisi dan pusat, membangun kemitraan bersama berbagai LSM yang ada di daerah,
dan juga menjalin kerja sama dengan lembaga donor asing.
Akan tetapi masih terdapat
masalah dalam keterbatasan kapasitas birokrasi terkait sumber daya manusia yang
ada. Selain itu, berbagai bantuan dari
lembaga donor dan juga kerja LSM kurang terkoordinasi, sehingga yang terjadi seolah
berjalan ‘sendiri-sendiri’, tanpa adanya sinergi.
2. Teori
Model Kelayakan Kebijakan David C. Korten
Menurut Korten kebijakan
dikatakan layak atau akan berjalan dengan baik apabila terjadi sinergi antara
kebijakan itu sendiri dengan pelaksanan kebijakan dan penerima kebijakan.
Ketiga variabel (kebijakan, pelaksana, dan sasaran) harus berada dalam kondisi yang
baik/layak.
a.
Kebijakan
Komitmen pimpinan politik
merupakan salah satu pendorong keberhasilan implementasi kebijakan. Peraturan
Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan
IMS merupakan salah satu komitmen politik pemerintah Kabupaten Jayapura dalam
menganggulangi kasus HIV/AIDS di Jayapura. Selain itu, Bupati sering terlihat
keikutsertaannya dalam aktivitas-aktivitas penanggulangan HIV/AIDS di daerah
(Haryanto,dkk. 2010).
Tidak semua daerah memiliki
perda tentang HIV/AIDS. Kabupaten Jayapura merupakan dearah pertama di
Indonesia yang memiliki Perda yang concern
pada pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Peraturan Daerah Nomor 20
Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS merupakan
inisiatif pemerintah (top-down),
namun pada proses implementasinya melibatkan multi aktor, baik dari pemerintah,
non pemerintah, dan masyarakat.
Secara normatif, tujuan dari
Perda Nomor 20 tahun 2003 adalah menekan laju HIV/AIDS di wilayah Kabupaten
Jayapura (Haryanto,dkk. 2010). Tujuan ini sangat jelas, sehingga mampu menjadi
pedoman bagi para implementor dalam melaksanakan Perda tersebut. Jika ditelaah
lebih jauh, Perda ini sebenarnya bertujuan untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat dalam menanggulangi masalah HIV/AIDS di Jayapura. Melalui
pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu menekan laju penyebaran penyakit
HIV/AIDS, diantaranya dengan mencegah terjadinya penularan kepada orang sehat,
melibatkan peran serta LSM yang concern pada
masalah HIV/AIDS, dan juga meminimalisir stigma di masyarakat mengenai
HIV/AIDS, sehingga pengidap HIV/AIDS juga dapat hidup normal di dalam
masyarakat.
Berdasarkan penjelasan di
atas, maka kebijakan pemerintah Kabupaten Jayapura, yakni Peraturan Daerah
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS,
bisa dikata sudah cukup baik. Maka yang menjadi fokus selanjutnya adalah
bagaimana Perda itu diimplementasikan.
b.
Pelaksanan
Kebijakan
Aktor yang terlibat dalam
pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 terdiri dari aktor pemerintah,
aktor non pemerintah, aktor internasional, dan masyarakat. Hal ini menunjukan
implementasi Perda tersebut telah melibatkan multi-aktor.
Aktor pemerintah Kabupaten
Jayapura sendiri terkendala baik secara kuantitas maupun kualitas. Ketersediaan
tenaga kesehatan di Kabupaten Jayapura khususnya untuk penanganan penderita
HIV/AIDS masih sangat kurang. Penderita HIV/AIDS memerlukan tenaga profesional
tidak saja untuk pengobatan akan tetapi juga dukungan psikologi dan sosial. Hal
tersebut menyebabkan kesulitan pemberdayaan penderita HIV/AIDS.
Aktor internasional
bertindak bertindak sebagai lembaga donor dalam berbagai program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura. Tetapi perlu menjadi perhatian pemerintah
Jayapura adalah bantuan lembaga donor asing biasanya hanya bersifat sementara,
sedangkan kesuksesan penanggulangan HIV/AIDS membutuhakn kesinambungan program-program.
Adapun peran LSM dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura
adalah sebagai mitra dari pemerintah. Sedangkan masyarakat hanya ditempatkan
sebagai objek kebijakan.
c.
Sasaran
Kebijakan
Ditengah gencarnya
pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura, masyarakan
sebagai sasaran kebijakan hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan. Padahal
dalam pasal 6 ayat 3 Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencagahan
dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS, disebutkan bahwa ‘Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama, sedangkan
pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan
menciptakan suasana yang mendukung.’
Padahal masyarakat, sangat
membutuhkan informasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS. Khusus untuk pekerja
seks komersil, mereka sebenarnya memegang peranan penting dalam penyebaran
HIV/AIDS, oleh karena itu, mereka seharusnya diberikan pengetahuan (komunikasi)
yang baik mengenai HIV/AIDS, hal ini penting guna menghambat penyebaran
penyakit tersebut.
Penderita HIV/AIDS seharusnya
tidak hanya menjadi objek, tetapi juga menjadi subjek kebijakan. Keterlibatan
penderita (pemberdayaan) dalam penanggulangan HIV/AIDS memiliki banyak
keuntungan diantaranya dapat sebagai efektive
prevention, yaitu kesadaran untuk tidak menularkan penyakit yang
dideritanya kepada orang lain. Pada tingkat sosial, keterlibatan mereka
membantu mengurangi stigma dan diskriminasi (Haryanto,dkk. 2010).
Penilaian
Berdasarkan
teori dari Edward dan Korten, terdapat tujuh variabel yang berpengaruh terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan. Selanjutnya, kami mencoba untuk memberikan
penilaian terhadap Peraturan
Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan
IMS di Jayapura terkait pemberdayaan masyarakat. Penilaian ini berdasarkan
pembahasan sebelumnya dengan menggunakan tujuh variabel. Penilaiannya sebagai
berikut :
Tabel 2. Penilaian Kebijakan
Variabel
|
Penilaian
|
||
Baik
|
Cukup
|
Kurang
|
|
Kebijakan
|
ü
|
||
Pelaksana
|
ü
|
||
Sasaran
|
ü
|
||
Komunikasi
|
ü
|
||
Sumber Daya
|
ü
|
||
Disposisi
|
ü
|
||
Struktur Birokrasi
|
ü
|
Berdasarkan
penilaian di atas, terlihat bahwa implementasi Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Jayapura kurang berjalan
dengan baik. Namun bukan berarti Perda tersebut gagal begitu saja. Sebab secara
kebijakan, perda tersebut dapat dikatakan layak, yang perlu dilakukan
pemerintah Kabupaten Jayapura saat ini adalah bagaimana mengevaluasi dan
membenahi berbagai kekurangan yang ada. Selain itu, pemerintah juga harus lebih
melakukan pemberdayaan masyarakat dalam menganggulangi masalah HIV/AIDS, sebab
masyarakat juga memegang peranan yang sangat penting. Masyarakat jangan lagi
hanya dijadikan objek kebijakan, akan tetapi mereka juga harus dilibatkan
sebagai subjek kebijakan.
Fenomena tingginya kasus
HIV/AIDS di Kab. Jayapura bukan semata-mata merupakan sebuah kegagalan
implementasi kebijakan. Sebab untuk menunjukan gejala seseorang terinfeksi
memerlukan waktu yang lama, yakni dengan masa full-blown AIDS berkisar 5-10 tahun. Bertambahnya penderita
HIV/AIDS tidak selamanya merupakan kegagalan program, sebeb bisa juga merupakan
keberhasilan pemerintah dalam melakukan pendataan masyarakat yang terinfeksi
HIV/AIDS, sehingga bisa dilakukan langkah-langkah selanjutnya guna mencegah penyebaran
yang lebih luas.
Masalah HIV/AIDS merupakan
masalah yang sulit. Namun sudah menjadi tugas pemerintah untuk melindungi
masyarakatnya dari berbagai ancaman dalam berbagai bentuk, termasuk HIV/AIDS.
Rekomendasi
Implementasi
Perda Nomor 20 Tahun 2003, belum optimal. Peraturan Daerah tentang HIV dan AIDS
di Kabupaten Jayapura, penanganan masih sebatas pengawasan terhadap para pelaku
seks di tempat prostitusi resmi dan tak resmi. Agar pelaksanaan Perda lebih
maksimal Pemerintah daerah Kabupaten Jayapura perlu mencontoh implementasi
Perda pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS Kabupaten Marauke. Implementasi Perda pencegahan dan
penanggulangan HIV-AIDS Kabupaten Marauke disertai dengan adanya sanksi yang tegas, seperti apabila
ada seseorang pekerja seks yang sampai tiga (3) kali ketahuan menderita IMS,
maka yang bersangkutan akan disidangkan secara tindak pidana ringan (Tipiring),
dan yang bersangkutan bisa dikenakan denda sebesar Rp. 1 juta. Sebenarnya Perda pencegahan dan
penanggulangan HIV-AIDS di
Kabupaten Jayapura juga disertai dengan sanksi yang tegas,
hanya saja dalam implementasinya sanksi tersebut tidak diterapkan.
Pemerintah Kabupaten
Jayapura juga sepertinya perlu mengembangkan pendekatan lain dalam menanggulangi
HIV/AIDS, seperti pendekatan ekonomi, pendidikan, dan religi. Tingginya
kasus HIV-AIDS di kalangan ibu rumah tangga (26%) dikarenakan pekerjaan seks jalanan
yang dilakukan ibu rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan ekonomi (faktor ekonomi), seharusnya mendorong pemerintah
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
Maraknya
minuman keras dan transaksi seksual yang sudah membudaya di masyarakat Jayapura merupakan
salah satu faktor terbesar penyebaran HIV-AIDS. Dalam hal ini perlu dilakukan dua pendekatan, yakni
pendekatan pendidikan dan religi. Pemerintah bisa bekerja sama dengan para tokoh agama
untuk menyadarkan masyarakat bahwa apa yang mereka lakukan saat ini adalah
perbuatan dosa dan harus ditinggalkan.
Para
pemilik modal dan pekerja
seks juga diberdayakan dengan dilatih keterampilan atau bidang kerja lainnya yang lebih baik, sehingga kemudian mereka bisa dikembalikan ke
masyarakat dan mencari uang secara baik. Pemerintah harus berani dan tegas
untuk mencabut izin usaha pengelola lokalisasi yang terbukti melanggar aturan.
Tempat lokalisasi ditutup dan diganti dengan rumah ibadah dan sarana pendidikan
umum lainnya. Sehingga, Peraturan daerah tidak hanya menjadi pajangan yang
mengecoh (AIDS Watch Indonesia; 08 Oktober 2012).
Implementasi Perda HIV-AIDS oleh
Pemda Jayapura, perlu melihat apakah dari masyarakat Jayapura sendiri
mengetahui apa itu HIV-AIDS, akibatnya apapun usaha yang dilakukan pemerintah
tanpa memahami keterbatasan yang ada ditengah-tengah masyarakat sama halnya
usaha ‘menjaring
angin’.
Sehingga komunikasi dan pendidikan
mengenai HIV/AIDS perlu dilakukan oleh pemerintah dengan membangun kerja sama
dengan berbagai organisasi yang perduli terhadapa HIV/AIDS.
Daftar
Pustaka
Ditjen PP & PL Kemenkes
RI. 2012. Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia.
Harahap, Syaiful W. 2012. Penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura, Papua,
Tidak Konkret. http://regional.kompasiana.com/2012/01/28/penanggulangan-hivaids-di-kab-jayapura-papua-tidak-konkret/, diakses 20 November 2012.
Haryanto,dkk. 2010. “Implementasi
Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual
(IMS) di Kabupaten Jayapura”. Spirit
Publik. Volume 7, Nomor 1: 67-85.
Indiahono,
Dwiyanto. 2009. Perbandingan Administrasi
Publik: Model, Konsep, dan Aplikasi. Gava Media: Yogyakarta.
Subarsono,
AG. 2011. Analisis Kebijakan Publik:
Konsep, Teori, dan Aplikasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Winarno,
Budi. 2008. Kebijakan Publik: Teori dan
Proses. Media Pressindo: Jakarta.