A.
Latar Belakang Masalah
Penerimaan
pajak merupakan sumber utama pembiayaan pemerintah dan pembangunan. Saat ini
sekitar 70% APBN Indonesia dibiayai dari penerimaan pajak. Penerimaan pajak
semester I-2012 mencapai Rp 387,6 trilyun atau sekitar 45 persen dari target
tahun 2012.
Salah
satu penerimaan pajak yang cukup signifikan terhadap pendapatan Negara Pajak
Pertambahan Nilai (PPN). Menurut Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
RI, Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik hampir dua kali lipat dalam
kurun waktu lima tahun terakhir, yaitu dari Rp 123 triliun pada tahun 2006
menjadi 232,2 triliun pada tahun 2010. Angka ini lebih kurang 30% dari total
penerimaan Negara dari pajak. Untuk tahun 2011 penerimaan PPN mencapai 277,73
triliun, jika dibandingkan dengan penerimaan PPN tahun 2010, maka penerimaan
PPN mengalami peningkatan, tetapi apabila dilihat dari perjenis pajaknya untuk
tahun 2011, maka PPN memiliki pencapaian target paling rendah. Meskipun
demikian, PPN mengalami kinerja pertumbuhan sebesar 20,45%, yang tergolong
relatif baik.
Kurang
tercapainya penerimaan PPN tidak lain disebabkan karena tingkat kepatuhan
pelaku usaha dalam menyetor PPN masih rendah dan juga bahwa masih banyak
transaksi yang tidak tercatat atau yang dikenal dengan ekonomi bawah tanah (Underground Economy), sehingga
penerimaan PPN tidak mencapai target. Manurung (2002) menemukan bahwa sekitar
22% untuk setiap Kanwil Pajak terdapat Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bukan
pembayar pajak.
Peran
serta Wajib Pajak dalam sistem pemungutan pajak sangat menentukan tercapainya
target penerimaan pajak. Penerimaan pajak yang optimal dapat dilihat dari
berimbangnya tingkat penerimaan pajak aktual dengan penerimaan pajak potensial
atau tidak terjadi tax gap. Oleh
karena itu, kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak merupakan faktor penting yang
mempengaruhi realisasi penerimaan pajak.
Namun,
berbagai kasus yang menyeret aparatur pajak dalam beberapa tahun terakhir telah
menimbulkan skeptisisme wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Sementara di sisi lain,
negara masih mengharapkan pajak sebagai sumber utama pendapatan. Tuntutan akan
peningkatan penerimaan, peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak serta
perbaikan-perbaikan dan perubahan mendasar dalam segala aspek perpajakan
menjadi alasan perlu dilakukannya reformasi perpajakan melalui modernisasi
sistem administrasi perpajakan.
B.
Perumusan Masalah
Bagaimana
Strategi Peningkatan Kepatuhan dan Kesadaran Wajib Pajak melalui modernisasi
sistem administrasi perpajakan?
C.
Kerangka Teori
Pada
hakekatnya kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem administrasi
perpajakan yang meliputi tax service dan tax enforcement. Langkah
langkah perbaikan administrasi diharapkan dapat mendorong kepatuhan Wajib Pajak
melalui dua cara yaitu pertama, Wajib Pajak patuh karena mendapatkan pelayanan
yang baik, cepat, dan menyenangkan serta pajak yang mereka bayar akan
bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Kedua, Wajib Pajak akan patuh karena mereka
berpikir bahwa mereka akan mendapat sanksi berat akibat pajak yang tidak mereka
laporkan terdeteksi sistem informasi dan administrasi perpajakan (Surjoputro
dan Widodo,2004).
Direktorat
Jenderal Pajak sebagai lembaga yang berwenang menangani masalah perpajakan
harus berbenah memberi pelayanan yang lebih baik kepada Wajib Pajak. Perbaikan
pelayanan lewat program perubahan (Change Program), penegakan hukum dan
pelaksanaan kode etik yang lebih baik harus diprioritaskan agar administrasi
perpajakan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
D.
Pembahasan
Tuntutan
akan peningkatan penerimaan, peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak
serta perbaikan-perbaikan dan perubahan mendasar dalam segala aspek perpajakan
menjadi alasan dilakukannya reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan tersebut
dapat berupa penyempurnaan terhadap kebijakan perpajakan dan sistem
administrasi perpajakan sehingga bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam
mematuhi kewajiban perpajakannya, meningkatkan tanggung jawab aparatur
pemerintah agar tidak melakukan kecurangan dan melayani masyarakat dengan
sebaik-baiknya dan dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak yang tersedia
dapat dipungut secara optimal. Kalau ditinjau dari konsep produktivitas
penerimaan pajak, jika organisasi ingin meningkatkan penerimaan pajaknya, maka
organisasi harus respon terhadap perubahan yang terjadi (Generalis, 2000).
Kegagalan merespon perubahan berarti melewatkan peluang atau malah menciptakan
masalah. Oleh karena itu, reformasi (modernisasi) adalah hal yang tidak
terhindarkan.
Konsep
modernisasi administrasi perpajakan pada prinsipnya adalah merupakan perubahan
pada sistem administrasi perpajakan yang dapat mengubah pola pikir dan perilaku
aparat serta tata nilai organisasi sehingga dapat menjadikan Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) menjadi suatu institusi yang profesional dengan citra yang
baik di masyarakat. Menurut Rahayu dan Lingga (2009), program reformasi
administrasi perpajakan diwujudkan dalam penerapan sistem administrasi
perpajakan modern yang memiliki ciri khusus antara lain struktur organisasi
yang dirancang berdasarkan fungsi, tidak lagi menurut seksi-seksi berdasarkan
jenis pajak, perbaikan pelayanan bagi setiap wajib pajak melalui pembentukan account
representative dan compliant center untuk menampung keberatan Wajib Pajak.
Sistem administrasi perpajakan modern juga mengikuti kemajuan teknologi dengan
pelayanan yang berbasis e-system seperti e-SPT, e-Filing,
e-Payment, dan e-Registration yang diharapkan
meningkatkan mekanisme kontrol yang lebih efektif yang ditunjang dengan
penerapan Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang mengatur perilaku
pegawai dalam melaksanakan tugas dan pelaksanaan good governance.
Semenjak
tahun 2002, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah meluncurkan program perubahan
(change program) atau reformasi administrasi perpajakan yang secara
singkat biasa disebut Modernisasi. Adapun jiwa dari program modernisasi
ini adalah pelaksanaan good governance, yaitu penerapan sistem
administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan
sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh
dalam adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada
para wajib pajak.
Administrasi
perpajakan dituntut bersifat dinamis sebagai upaya peningkatan penerapan
kebijakan perpajakan yang efektif. Kriteria fisibilitas administrasi menuntut
agar sistem pajak baru meminimalisir biaya administrasi (administrative cost)
dan biaya kepatuhan (compliance cost) serta menjadikan administrasi
pajak sebagai bagian dari kebijakan pajak (Sofyan, 2005). Menurut Slemrod dan
Blumenthal (1996) dalam studi mereka di Amerika Serikat besaran compliance
cost yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak relatif besar dibandingkan
dengan penerimaan pajak oleh Internal
Revenue Service (IRS). Mereka juga berpendapat bahwa besaran biaya
kepatuhan ini dapat diminimalisir melalui penyederhanaan proses pajak meskipun
masalah tersebut kadang-kadang tidak menjadi concern dalam penetapan tax
policy. Wijayanti et al., (2004) menemukan bahwa modernisasi yang
diharapkan meningkatkan akuntabilitas aparatur pajak berpengaruh terhadap
kepatuhan wajib pajak.
Beberapa
karateristik modernisasi administrasi perpajakan adalah seluruh kegiatan
administrasi dilaksanakan melalui sistem administrasi yang berbasis teknologi
terkini, seluruh wajib pajak diwajibkan membayar melalui kantor penerimaan
secara on-line, seluruh wajib pajak diwajibkan melaporkan kewajiban
perpajakannya dengan menggunakan media komputer (e-SPT) dan monitoring
kepatuhan wajib pajak dilaksanakan secara intensif.
Direktorat
Jenderal Pajak sebagai organisasi pemerintah yang diberi wewenang untuk
mengelola perpajakan menyadari sepenuhnya bahwa tanpa adanya improvisasi di
bidang teknologi informasi, dinamika yang berkembang di masyarakat terutama
dinamika bisnis tidak akan dapat diantisipasi (Prawirodidirdjo , 2007). Yang
lebih penting lagi, pemanfaatan informasi tekhnologi secara maksimal akan
mendukung program transparansi dan keterbukaan, di mana kemungkinan terjadinya
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) termasuk di dalamnya penyalahgunaan
kekuasaan dapat diminimalisir.
Dukungan
teknologi informasi dapat mempercepat proses pelayanan dan pemeriksaan. Dengan
pengembangan basis data dalam jaringan online memungkinkan kecepatan
akses informasi dan pelayanan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dan
pembayaran pajak secara online yang menjadikan proses administrasinya
menjadi jauh lebih sederhana.
E.
Kesimpulan
Tingkat
kepatuhan dan kesadaran wajib pajak adalah suatu sikap dari wajib pajak untuk melaksanakan semua kewajiban
perpajakannya sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku tanpa perlu diadakan
pemeriksaan, investigasi, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi, baik
sanksi hukum maupun sanksi administrasi. Tingkat kepatuhan pengusaha kena pajak
diukur dari:
1. Kepatuhan dan kesadaran untuk
mendaftarkan diri sebagai wajib pajak,
2. Kepatuhan dan kesadaran dalam
perhitungan dan pembayaran pajak terutang,
3. Kepatuhan dan kesadaran
untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT),
4. Kepatuhan dan kesadaran
dalam pembayaran tunggakan pajak.
Modernisasi
sistem administrasi perpajakan adalah proses dari penatausahaan dan pelayanan
terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak yang berdasarkan fungsi
dan bukan jenis pajak, dengan adanya pemisahan fungsi antara fungsi pelayanan,
pengawasan, pemeriksaan, keberatan dan pembinaan yang tersebar pada
masing-masing seksi teknis. Serta dalam bidang teknologi informasi, diterapkan
aplikasi elektronik SPT (e-SPT) untuk pelaporan SPT secara elektronik
dan aplikasi On-Line Peyment untuk pembayaran pajak. Indikator
pengukuran modernisasi sistem administrasi perpajakan ini meliputi: implementasi
pelayanan, strategi organisasi dengan adanya perkembangan teknologi informasi,
dan budaya organisasi.
F.
Daftar Pustaka dan Referensi
Agung, Mulyo. 2009. Perpajakan
Indonesia Seri PPN, PPnBM, Dan PPh Badan: Teori Dan Aplikasi. Jakarta:
Mitra Wacana Media
Amir, Hidayat dan Gunawan Setiyaji.
2005. Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan Indonesia . Jurnal Ekonomi Indonusa
Bawazier, Fuad. 2011. Reformasi Pajak
di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 8, No. 1: 1-12
Hanggana, Sri. 2008. Analisis
Diskriptif Model Peraturan PPN yang Menghambat dan yang Meningkatkan Motivasi
Pengusaha Menyetor PPN. Jurnal Studi Manajemen Competence. Vol. 2, No.
1: 1-22
Jatmiko, Nugroho Agus. 2006. Pengaruh
Sikap Wajib Pajak pada Pelaksanaan Sanksi Denda, Pelayanan Fiskus dan Kesadaran
Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Empiris Terhadap Wajib Pajak
Orang Pribadi di Kota Semarang). Tesis Program Studi Magister Akuntansi,
Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No.235/KMK.03/2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri
Keuangan No. 544/KMK.04/2000 tentang Kriteria Wajib Pajak Yang Dapat Diberikan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
Pemerintah RI. 2007. Undang-Undang
No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang No. 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta
Pemerintah RI. 2009. Undang-Undang
No. 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Jakarta
Prawirodidirdjo, Suharto Arto. 2007. Analisis
Pengaruh Perubahan Organisasi dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan dan
Kinerja Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (Penelitian pada Kantor Pelayanan
Pajak Berbasis Administrasi Modern di Lingkungan Kantor Wilayah Jakarta Khusus.
Tesis Magister Manajemen, Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
Tidak dipublikasi
Rahayu, Sri. 2009. Pengaruh
Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan
pada KPP Pratama Bandung. Jurnal Akuntansi. Vol. 1, No. 2: 119-138
Manurung, Romulus. 2002. Analisa
Dampak Kajian Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 terhadap Penerimaan
PPN Sektor Pertanian. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 6 Nomor 4,
Desember 2002: 71-85.
Sofyan, Taufan Marcus. 2005. Pengaruh
Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
pada Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak Wajib Pajak Besar. Skripsi Sarjana Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Susanto, Hari. 2011. Underground
Economy. Jakarta: Baduose Media 22
Waluyo. 2007. Perpajakan
Indonesia Edisi 7. Jakarta: Salemba Empat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar