Laporan
pertanggungjawaban Bupati adalah merupakan tanggung jawab penyelenggaraan
seorang Kepala Daerah kepeda rakyatnya, hanya dalam pelaksanaan
pertanggungjawabanya didepan legislatif. Laporan pertanggungjawaban Bupati
Kabupaten X tahun 2009 ternyata menimbulkan banyak pertanyaan dari anggota
legislatif, hal ini dikarenakan banyaknya ketidak sesuaian antara rencana/
program yang disepakati bersama dengan realisasi program.
Berbagai alasan disampaikan oleh Bupati diantaranya
sebagian dana dialokasikan pada pelebaran jalan Mahadewa yang menelan anggaran
sangat banyak. Fokus pertanggung jawaban ini pada satu bidang yaitu pembangunan
pelebaran jalan Mahadewa yang dalam realisasinya jauh melebihi target program
yaitu Rp 1.500.000.000,00, yang ternyata belum ada dalam rencana anggaran
pemerintah daerah.
B.
Analisis
Permasalahan dengan Teori
1. Kajian Tugas, Wewenang Kepala
Daerah dan DPRD
Pada Pasal 25 UU (Undang-Undang)
Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang
sebagai berikut.
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD (Dewan perwakilan Rakyat Daerah)
b.
Mengajukan rancangan Perda (Peraturan Daerah)
c.
Menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD
(Anggaran Perencanaan Belanja Daerah) kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan
bersama
e.
Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Seperti
yang dipaparkan dalam pasal 25 UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kepala
Daerah mempunyai tugas dan wewenang menyusun, mengajukan dan menetapkan APBD.
Akan tetapi itu tidak bisa dilakukan sewenang-wenang oleh Kepala Daerah, akan
tetapi dilakukan bersama dengan persetujuan DPRD.
DPRD mempunyai tugas dan wewenang
yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 62 dan 78, yaitu:
a. Membentuk Perda yang dibahas
dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan Bersama
b. Menetapkan APBD bersama
dengan Kepala Daerah
c. Melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan Perda, peraturan perundang-undangan lainnya, Keputusan
Kepala Daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program
pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah
d. Mengusulkan Pengangkatan dan
pemberhentian Kepala Dearah/ Wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi, dan kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/ kota
e. Memberikan pendapat dan
pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional
yang menyangkut kepentingan daerah
f. Meminta laporan keterangan pertanggung jawaban Kepala Daerah
dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
Dalam
UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 62 dan 78, menunjukan bahwa DPRD juga mempunyai
peran dalam pembentukan, penetapan dan pengawasan APBD. Pengawasan terkait
keputusan kepala daerah dan kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pembangunan daerah. Serta
meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam pelaksanaan
tugas desentralisasi. Hal ini berarti DPRD mempunyai peran penting dan
strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terkait perencanaan dan
pengawasan anggaran daerah.
Sebagai
unsur penyelenggara pemerintah daerah, DPRD mempunyai peran untuk membuat
kebijakan berupa pengaturan dalam bentuk peraturan daerah (fungsi legislasi
atau fungsi pengaturan), fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan politik.
Sebagai wakil rakyat, DPRD mempunyai fungsi mewakili kepentingan masyarakat
apabila berhadapan dengan pihak eksekutif maupun pihak supra daerah, serta
fungsi advokasi yaitu melakukan agregasi aspirasi masyarakat.
2. Aspek Hubungan Kerja antara
Kepala Daerah dan DPRD
Ada beberapa prinsip dasar dalam
hubungan kerja antara Kepala Daerah dan DPRD, yaitu bahwa kebijakan mengenai
uang, orang, barang, dan tata ruang harus dibicarakan antara Kepala Daerah
dengan DPRD sebagai wakil rakyat. Sekurang-kurangnya ada enam aspek hubungan
antara Kepala Daerah dan DPRD yang secara nyata terjadi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, yaitu:
a. Penyusunan kebijakan daerah
b. Penyusunan APBD (Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah)
c. Kebijakan strategis
kepegawaian
d. Kebijakan strategis
pengelolaan barang
e. Laporan keterangan
pertanggungjawaban
f.
Kebijakan pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
dan anggaran
Dari
permasalahan yang terjadi di kabupaten X, berkaitan dengan penyusunan APBD,
laporan keterangan pertanggungjawaban, dan kebijakan pengawasan pelaksanaan
anggaran.
a) Hubungan dalam Perumusan
Anggaran Daerah
Ada 3 kebijakan rutin dalam perumusan
anggaran daerah yang perlu dibahas bersama antara Kepala Daerah dan DPRD,
yaitu:
-
Perda APBD
-
Perda Perhitungan APBD
-
Perda Perubahan APBD.
Di luar yang rutin tersebut masih
perlu disusun Perda tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sesuai
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Kebijakan lainnya
dalam perumusan anggaran daerah adalah mengenai penggunaan anggaran untuk keadaan
mendesak dan keadaan darurat yang mungkin belum tersedia dalam APBD.
Dalam hubungan kewenangan berkaitan
dengan APBD, DPRD memiliki ‘senjata pamungkas’, berupa penolakan pembahasan
terhadap rancangan APBD yang diajukan oleh Kepala Daerah apabila terdapat
perbedaan yang sangat prinsipil antara lain KUA (Kebijakan Umum APBD) yang
telah disepakati sebelumnya ternyata tidak dijabarkan secara tepat, ataupun
karena perhitungan anggaran tahun sebelumnya belum selesai sehingga mengganggu
prognosa kekuatan keuangan daerah.
Gambar 1.1 Proses Penyusunan APBD (PP No. 58/ 2005)
Prinsip-prinsip
hubungan kerja dalam bidang pembuatan kebijakan keuangan daerah antara lain
sebagai berikut:
-
Prinsip Keterbukaan
-
Prinsip mengutamakan kepentingan rakyat sebagai pemilik
kedaulatan
-
Prinsip tanggung jawab dan tanggung gugat
b)
Hubungan dalam Pengawasan dan Politik Daerah
Salah satu fungsi penting DPRD dalam
penyelenggaraan pemerintahan adalah fungsi pengawasan, yang seringkali kurang
memperoleh perhatian. Fungsi pengawasan DPRD lebih bersifat pengawasan politik
dan kebijakan, bukan pengawasan teknis fungsional, karena fungsi tersebut
dijalankan oleh instansi-instansi pengawasan fungsional seperti Itjen
(Inspektorat Jenderal), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), Bawasda (Badan Pengawas
Keuangan Daerah), BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan).
3.
Analisis permasalahan
Permasalan yang terjadi di
kabupaten X tentu sudah jelas, bahwa Kepala Daerah melakukan pelanggaran
peraturan perundang-undangan terkait penyusunan,
penetapkan, dan realisasi APBD seperti dalam UU nomor 32 tahun 2004. Karena
Kepala daerah merealisasikan anggaran daerah yang tidak ada dalam APBD. Ini
menunjukan Kepala Daerah menyalahgunakan wewenangnya dalam penetapan APBD tanpa
pertimbangan dan persetujuan dari DPRD. Kepala daerah juga terindikasi
melakukan korupsi anggaran daerah,
karena menggunakan anggaran daerah tidak sesuai dengan APBD.
C.
Penyebab
Permasalahan
Permasalahan yang
terjadi di kabupaten X dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kurangnya
kompetensi dan tanggung jawab Kepala Daerah terhadap tugas dan wewenangnya
seperti dalam Pasal 25 UU Nomor 32 Tahun 2004.
2. Penyalahgunaan
wewenang oleh Kepala Daerah penyusunan, penetapkan, dan realisasi APBD.
3.
Kurangnya
kompetensi dalam penggunaan Diskresi Jabatan Kepala Daerah
4.
Pengawasan
yang buruk dalam realisasi APBD terkait penggunaan anggaran daerah
Permasalahan di kabupaten X terjadi karena
Kepala Daerah sewenang-wenang dalam mengalokasikan anggaran daerah pada program
yang tidak ada dalam APBD. Perubahan anggaran dapat dilakukan sepanjang
memenuhi kriteria kriteria perubahan APBD, seperti:
a.
Perkembangan
yang tidak sesuai dengan Kebijakan Umum APBD (KUA), yaitu:
-
Perubahan
asumsi ekonomi makro terhadap kemampuan fiskal daerah
-
Pelampauan
atau tidak tercapainya proyeksi pendapatan daerah
-
Faktor
yang menyebabkan terjadinya peningkatan belanja daerah
-
Kebijakan
pembiayaan yang harus dilakukan perubahan APBD
b.
Penggunaan
saldo anggaran lebih tahun sebelumnya, antara lain untuk:
- Membayar
bunga, pokok utang, dan atau obligasi
- Mendanai
gaji dan tunjangan PNS (Pegawai Negeri Sipil)
- Mendanai
kegiatan lanjutan (DPA-L)
- Mendanai
program dan kegiatan baru dengan kriteria harus diselesaikan sampai dengan
batas akhir penyelesaian pembayaran dalam tahunanggaran berjalan
- Mendanai
kegiatan yang capaian target kinerjanya itingkatkan dari yang telah ditetapkan
semula dalam DPA-SKPD tahun anggaran berjalan yang dapat diselesaikan sampai
dengan batas akhir penyelesaian pembayaran dalam tahun anggaran berjalan.
c.
Keadaan
darurat
Keadaan darurat yang di maksud adalah suatu
kondisi yang sekurang-kurangnya memenuhi kriteria yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 pasal 81 ayat 3, yaitu:
-
Bukan
merupakan kegiatan normal aktivitas pemerintah daerah dan tidak dapat
diprediksi sebelumnya
-
Tidak
diharapkan terjadi secara berulang
-
Berada
di luar kendali dan pengaruh pemerintah daerah
-
Memiliki
dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan yang disebabkan
oleh keadaan yang darurat
D.
Analisis Fungsi Pengawasaan
Pada dasarnya
pengawasan fungsional dilakukan secara bergantian oleh beberapa instansi,
yaitu:
-
Itjen
(Inspektorat Jenderal)
-
Bawasda
(Badan Pengawas Keuangan Daerah)
-
BPKP
(Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan)
-
BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan).
Salah
satu fungsi penting DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah fungsi
pengawasan, yang seringkali kurang memperoleh perhatian. Fungsi pengawasan DPRD
lebih bersifat pengawasan politik dan kebijakan, bukan pengawasan teknis
fungsional seperti yang dijalankan oleh instansi-instansi pengawasan fungsional
diatas.
DPRD
mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 62
dan 78, salah satunya adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Perda, peraturan perundang-undangan lainnya, Keputusan Kepala Daerah, APBD,
kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan
kerjasama internasional di daerah. Tugas dan wewenang tersebut, berimplikasi
pada hubungan kerja antara DPRD dengan Kepala Daerah, terkait kebijakan
pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan anggaran.
Akan
tetapi dalam kenyataannya Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD terhadap Kepala
Daerah terkait realisasi anggaran dalam APBD tidak optimal. Ini dikarenakan
budaya di indonesia yang Kepala Daerah cenderung mengintervensi DPRD.
Karena pada
dasarnya tidak ada seorangpun Kepala Daerah yang menginginkan peranan DPRD
lebih menonjol sehingga mengendalikan dirinya. Intervensi yang dimaksud juga
dikarenakan berbagai berbagai faktor dan hal seperti:
1.
Keterbatasan
anggaran, karena anggaran DPRD ditentukan oleh Kepala Daerah
2.
Keterbatasan
kualitas sumber daya manusia, karena anggota DPRD berasal dari berbagai latar
belakang keilmuan, pengalaman, dan keanggotaan yang bersifat temporer (Hanya
Lima Tahunan)
3. Sekretariat
DPRD juga bermasalah karena dari aspek kepegawaian dikendalikan oleh Kepala
Daerah
4.
Iklim
politik yang selama ini menonjolkan peranan eksekutif.
Karena
intervensi dari Kepala Daerah tersebut, menyebabkan DPRD tidak bisa
melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai pengawas anggaran daerah dengan
optimal. Selain karena intervensi dari Kepala Daerah terhadap DPRD, pengawasan
kurang berjalan dengan baik juga dikarenakan konflik yang terjadi antara Kepala
Daerah dengan DPRD dalam bidang pengawasan. Konflik dalam bidang pengawasan
tersebut, disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
- Pihak
eksekutif bersifat tertutup dalam permintaan data dan informasi yang dibutuhkan
oleh DPRD, sehingga menimbulkan kecurigaan
- Kepala
daerah sama sekali tidak menindaklanjuti berbagai rekomendasi hasil pengawasan
yang dilakukan DPRD, sehingga DPRD merasa tidak dihargai.
Dari internal DPRD sendiri juga terdapat
Hambatan dalam Melaksanakan Fungsi Pengawasan, diantaranya seperti:
·
Belum
tersusunnya agenda pengawasan DPRD
·
Belum
adanya Standar, Sistem, dan Prosedur baku pengawasan DPRD
Realisasi
anggaran yang tidak sesuai dengan APBD di kabupaten X juga terjadi karena belum
optimalnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan. Yang seharusnya masyarakat
aktif berpartisipasi dalam pengawasan anggaran daerah melalui DPRD, untuk
menanggulangani penyelewengan anggaran, belumlah terlaksana.
E.
Kajian Perencanaan
Dalam
menyusun anggaran daerah (APBD), langkah penting yang harus dilakukan adalah
memperhatikan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah disikapi sebagai
satu kesatuan dalam sistem perencanaan nasional yaitu Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJP-D), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D),
dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek yang sering disebut Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKP-D).
Dalam
sinkronisasi perencanaan pembangunan dan penganggaran harus menjamin adanya
keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan
dan evaluasi serta pengendaliannya.
Permasalahan
perencanaan yang terjadi di kabupaten X, pada dasarnya dari pihak Kepala daerah
kurang memperhatikan dan mentaati peraturan dalam:
-
Kebijakan
Umum APBD (KUA)
KUA merupakan sasaran dan kebijakan pemerintah
dalam satu tahun anggaran yang menjadi petunjuk dan ketentuan umum yang
disepakati sebagai pedoman penyusunan Rencana APBD dan Rencana Perubahan APBD.
-
Prioritas
Plafon Anggaran Sementara (PPAS).
PPAS merupakan Program prioritas dan patokan
batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah) untuk setiap program dan kegiatan sebagai acuan dalam menyusun
RKA-SKPD. PPAS setelah disepakati oleh DPRD, dimuat dalam nota kesepakatan
antara Kepala Daerah dengan Pimpinan DPRD.
F.
Solusi Permasalahan
Dalam
mengevaluasi pencapaian tujuan APBD secara khusus, terdapat 2 tujuan, yaitu:
-
Optimalisasi
pendapatan daerah
-
Menjaga
alokasi belanja yang efektif dan efisien.
Tujuan ini dicapai dengan meminimalkan
resiko-resiko penyimpangan yang ada, baik pada sisi penerimaan, maupun pada
sisi belanja daerah.
Dan untuk mencapai tujuan itu, diperlukan
upaya-upaya sebagai berikut:
1.
Membuat
Jaringan Kerjasama dengan Institusi Pengawasan
Lembaga pengawasan seperti Itjen, BPK, BPKP merupakan
aparat pengawasan yang secara teknis ahli dalam melakukan pemeriksaan (audit).
Keahlian ini jarang dimiliki oleh para wakil rakyat yang mempunyai kewenangan
konstitusional dalam bidang pengawasan. Oleh karena itu, DPRD dapat menjalin
kerjasama dengan lembaga-lembaga ini untuk memberikan informasi seperti:
laporan hasil pengawasan (Laporan Hasil Audit).
Selanjutnya DPRD menyampaikan kepada
pemerintah daerah untuk menindaklanjuti hasil pengawasan tersebut.
2.
Peran
Serta Pengawasan Masyarakat
Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam
pengawasan, DPRD dapat melakukan beberapa hal seperti:
a.
Membentuk
komunitas atau forum pengawasan parlemen diberbagai kalangan dan tingkatan
b. Mengadakan
pertemuan-pertemuan rutin dengan komunitas atau forum-forum tersebut, untuk
mendiskusikan berbagai persoalan dan berbagai informasi yang relevan dengan
fungsi pengawasan
c. Merancang
Perda yang mengatur tentang transparansi dan partisipasi publik yang mendorong
penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara transparan dan dengan partisipasi
masyarakat
d. Meningkatkan
kerjasama dengan pihak terkait terutama media masa, organisasi profesioanl, LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat), dan lembaga peradilan.
3.
Anggaran
Berbasis Kinerja
Anggaran berbasis kinerja maksudnya adalah
sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada
pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja harus mencerminkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan publik, yang berarti berorientasi pada kepentingan publik
(Mardiasmo, 2002:105)
DAFTAR PUSTAKA & REFERENSI
Buku:
Wasistiono, Sadu. 2009. Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Fokus Media.
Bandung.
Peraturan
Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan
Pertanggungjawaban Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah