Minggu, 13 Januari 2013

Penerapan Sistem Good Governance pada Sektor Publik dan Privat

SISTEM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA
Penerapan Sistem Good Governance pada Sektor Publik dan Privat

Oleh:
Aziz Kusuma Aji (F1B009098)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS NEGERI JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRATSI NEGARA
PURWOKERTO
201
2



BAB I
PENDAHULUAN

I.     Pendahuluan
Globalisasi yang menyentuh berbagai bidang kehidupan di seluruh wilayah pemerinahan negaramenuntut reformasi system perekonomian dan pemerintahan termasuk birokrasinya sehingga memungkinkan interaksi perekonomian anar daerah dan antar bangsa berlangsung lebih efisien. Wkunci keberhasilan pembangunan perekonomian adalah daya saing, dan kunci daya saing adalah efisiensi pelayanan, serta muu keepatan dan kepastian kebijakan publik. Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut, salah satu prasyarat yang perlu dikembangkan adalah komitmen yang tinggi untuk menerapkan prinsip good governance dalam penuangan  mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara, sebagaiman diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Sejalan dengan komitmen nasional untuk melakukan transformasi dan reformasi di segala bidang, dewasa ini di Indonesia dituntut untuk dapat memebentuk kemitraan antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat madani secara nyata yang terlibat dalam berbagai upaya kolaborasi dalam segala  bidang, antara lain dalam penyusunan peraturan perundang-undanmgan, pengendalian program pembangunan dan pelayanan public, maupun dalam rangka pengelolaan bersama prasarana dan sarana publik antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Pemerintah dewasa ini telah pada batas kapasitasnya, dimana setiap penambahan beban baru penyelenggaraan pemerintahan, maka hal ermaksud akan berarti mengurangi kemampuan dan kapasitas kinerja pemerintah pada bidang yang lainnya.
Proses demokratisasi politik dan pemerintahan dewasa ini tidak hanya menuntut profesionalisme dan kemampuan aparatur dalam pelayanan publik, tetapi secara fundamental menuntut terwujudnya kepemerintahan yang baik, bersih, dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (good governace and clean government)

II.  Perumusan Masalah
Dari pendahuluan diatas dapat ditarik perumusan masalah yang akan dibahas yakni bagaimanakah konsep good governance di sektor publik maupun swasta?


BAB II
PEMBAHASAN

I.         Konsepsi Good Governance (Kepemerintahan yang Baik)
Pemerintah atau government dalam bahasa Indonesia berarti “Pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya” bisa juga berarti lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya.
Sedangkan istilah kepemerintahan atau governance mempunyai arti yaitu tindakan, fakta, pola, dan kegiaan atau penyelenggaraan pemeritahan. Dengan demikian governance adalah suatu kegiatan atau proses, sebagaimana dikemukakan oleh Kooiman (1993 dalam Sedarmayanti 2004) bahwa governance lebih merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.
United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance for sustainable human development” (1997) mendefinisikan kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaan di bidang eonomi, politik dan administrative untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrument kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi keseahteraan integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. Berikutnya secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung dua pemahaman:
Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak raktat, dan nili-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan raktyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut (Sedarmayanti, 2004). Selanjutnya, Lembaga Administrasi Negara mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada:
Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif, efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama megacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti: legitimasi, akuntabilitas,  dan lain sebagainya. Sedangkan orientasi kedua, tergantung pada sejauh mana pemerintah mempunyai kompetensi dan sejauhmana struktur dan mekanisme politik dan administrative berfungsi secara efektif dan efisien.
            Lembaga Administrasi Negara (2000) menyimpulkan bahwawujud good governance adalah penyelenggaraan negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat.
Selain itu Peraturan Pemerinah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti good governace adalah kepemerintahan yang mengemban akan adan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hokum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
            Dengan demikian terdapat unsur-unsur dalam kepemerintahan yang dapat dikelompokan menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Negara/Pemerintahan: konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sector swasta dan kelembagaan masyarakat madani.
2. Sektor Swasta: pelaku sector swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam system pasar.
3. Masyarakat Madani: kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau di tengah-tengah antara pemerintah dan perseoranagn, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang beribteraksi secara sosial, politik, ekonomi.

II.   Penerapan Prinsip Good Governance pada Sektor  Publik
            Prinsip yang melandasi perbedaan antara konsepsi kepemerintahan yang tradisional adalah terletak pada adanya tuntutan yang kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk dunia usaha dan lembaga Swadaya Masyarakat/organisasi non pemerintah) semakin ditingkatkan dan terbuka aksesnya. Berikut UNDP (1997) mengungkapkan prinsipyang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi :
1)   Partcipation
Semua warga negara berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif
2)   Rule of law
Proses mewujudkan cita good governance harus diimbangi dengan komitmen untuk penegakan hukum (gakkum), dengan karakter : (a) supremasi hukum, (b) kepastian hukum, (c) hokum yang responsif, (d) penegak hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, dan (e) independensi peradilan.
3)   Tranparency
Keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk memberantas KKN diperlukan keterbukaan dalam transaksi dan pengelolaan keuangan negara, serta pengelolaan sektor-sektor publik.
4)   Responsiveness
Peka dan cepat tanggap terhadap persoalan masyarakat. Pemerintah harus memiliki etik individual, dan etik sosial. Dalam merumuskan kebijakan pembangunan sosial, pemerintah harus memperhatikan karakteristik kultural, dan perlakuan yang humanis pada masyarakat
5)   Consensus orientation
Pengambilan keputusan melalui musyawarah dan semaksimal mungkin berdasarkan kesepakatan bersama.
6)   Kesetaraan dan Keadilan
Kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Pemerintah harus memberikan kesempatan pelayanan dan perlakuan yang sama dalam koridor kejujuran dan keadilan.
7)   Effectiveness and efficiency
Berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Efisiensi diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Pemerintah harus mampu menyusun perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyayarakat, rasional, dan terukur. 
8)   Accountability
Pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberikan kewenangan mengurus kepentingannya. Ada akuntabilitas vertikal (pemegang kekuasaan dengan rakyat; pemerintah dengan warga negara; pejabat dengan pejabat di atasnya), dan akuntabilitas  horizontal (pemegang jabatan publik dengan  lembaga setara; profesi setara).
9)   Strategic vision
Pandangan strategis untuk menghadapi masyarakat oleh pemimpin dan publik. Hal ini penting, karena setiap bangsa perlu memiliki sensitivitas terhadap perubahan serta prediksi perubahan ke depan akibat kemajuan teknologi, agar dapat merumuskan berbagai kebijakan untuk mengatasi dan mengantisipasi permasalahan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka hedaknya prinsip good governance dapat diterapkan dibeseluruh sektor dengan memperhatikan agenda kebijakan pemerintah untuk beberapa tahun mendatang diarahkan pada :
1.      Stabilitas Moneter, khususnya kurs dollar AS (USD) hingga mencapai tingkat wajar dan stabilitas harga kebutuhan pokok pada tingkat yang terjangkau
2.      Penanganan dampak krisis moneter khusus pengembangan proyek padat karya untuk mengatasi pengangguran, percukupan kebutuhan pangan bagi yang kekurangan.
3.      Rekapitalisasi kecil, menengah yang sebenarnya sehat & produktif
4.      Operasionalisasi langkah reformasi meliputi kebijaksanaan moneter, sistem perbankan, kebijakan fiskal dan anggaran serta penyelesaian hutang swasta dan restrukturisasi sektor riel.
5.      Melanjutkan langkah menghadapi era globalisasi khususnya unutk meningkatkan ketahanan dan daya saing ekonomi.
Dalam praktek good governance perlu dikembangkan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance. Keberhasilan secara umum dapat dilihat dari indicator ekonomi makro atau tujuan-tujuan pembangunan atau indikator quality of life yang dituju. Untuk negara-negara terkena krisis, indikator recovery. Tetapi bias juga secara sektoral (produksi tertentu), peningkatan eskpor, investasi, jaringan jalan, tingkat dan penyebaran pendidikan).
Dan juga secara mikro seperti laporan hasil audit suatu badan usaha. Tidak saja perusahaan tetapi juga unit-unit birokrasi (misalnya dalam pelayanan). Misalnya Lembaga Administrasi Negara telah mengembangkan Modul tentang Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah dan Modul tentang Evaluasi Kinerja Instansi Pemerintah. Pengembangan indicator keberhasilan atau kegagalan dilakukan antara lain mengenai :
 Pelayanan publik UU No.I/1995
1.      Koordinasi sector public dan swasta (terutama dari keluhan sector swasta/masyarakat
2.       Pengelolaan usaha yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan ISO 14.000.
3.      ISO 9.000 Kendali Mutu. Penilaian aspek manajemen tertentu.
4.      Sertifikasi dan Standarisasi, juga suatu pengukuran / indikator kualitas produk.
5.      MRA Standard and Conformance. Adanya kesepakatan aturan penilaian mutu produk antar negara.
6.      Audit Report, NeracaUntung Rugi dan lain sebagainya bagi sesuatu badan usaha.

Beberapa manfaat utama diterapkannya konsep Good Governance adalah sebagai berikut.
  1. Berkurangnya secara nyata praktek KKN di birokrasi pemerintahan
  2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, transparan, professional, dan akuntabel
  3. Terhapusnya peraturan perundang-undangan dan tindakan yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok atau golongan masyarakat
  4. Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun daerah
III. Penerapan Good Governance dalam Organisasi Kepemerintahan akan Membantu Penerapan Good Corporate Governance di Sektor Swasta
Kaitannya penerapan prinsip good governance dengan good corporate governance didasari pada surat Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka ditetapkan bahwa Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.
Stakeholder adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan BUMN, baik langsung maupun tidak langsung yaitu Pemegang saham/ pemillik modal, komisaris/ dewan pengawas, direksi dan karyawan serta pemerintah, kreditur dan pihak berkepentingan lainnya.
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam pelaksanaannya, yaitu:
1.        transparansi;
2.        kemandirian;
3.        akuntabilitas;
4.        pertanggungjawaban, dan
5.        kewajaran.
Penerapan prinsip terasebut diharapkan dapat diimplentasikan dalam berbagai sektor dengan penerapan pola interaksi dan kolaborasi antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat yang disebut kemitraan. Kemitraan antara pemerinath dengan swasta dan masyarakat madani untuk melakukan transformasi dan reformasi di segala bidang sudah mulai dilakukan namun belum sesuai dengan harapan. Sehingga dewasa ini, terbentuknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berfungsi mengawasi dan mengendalikan jalannya pemerintahan dan pelayanan publik sebagai wujud dari kemitraan.
Dari sinilah muncul pemikiran baru yang mengarah kepada perubahan pola penyelenggaraan pemerintah, yaitu dari pola tradisional atau konvensional dengan melibatkan kolaborasi antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat, yang dikenal dengan pergeseran paradigma dari pemerintahan (government) menjadi kepemerintahan (governance).
Diharapkan perubahan paradigma tersebut, akan memiliki dampak yang signifikan khususnya dalam kepercayaan masyarakat akan kinerja dari pemerintah (good governance and clean government). Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat diwujudkan dengan cara melakukan pembangunan kualitas manusia sebagai pelaku good governance, yaitu:
1. Pembangunan oleh dan untuk masyarakat.
2. Pokok pikiran community information planning system, dapat diwujudkan dengan “sharing” sumber daya terutama sumber daya informasi yang dimiliki oleh pemerintah kepada masyarakat.
3. Lembaga legislative perlu berbagi informasi dengan masyarakat atas apa yang mereka ketahui mengenai sumber daya potensial yang diperlukan birokrat kepada masyarakat.
4. Birokrasi harus menajlin kerjasama dengan rakyat.
5. Birokrasi membuka dialog dengan masyarakat, untuk memperkuat interaksi yang lebih besar antara birokrat dengan rakyat atau pejabat yang dipilih.
6. Nilai managemen strategis, berupaya mengembangkan organisasi yang mampu beradaptasi dan menanggapi tuntutan dengan lingkungannya.
Perwujudan “clean and good governance” dengan manajemen penyelenggaraan pemerintah yang baik dan handal, yakni manajemen yang kondusif, responsive dan adaptif perlu didukung dengan penciptaan administrasi public yang mengandung unsur system koperasi dan pendekatan pelayanan publik yang relevan bagi masyarakat, maka menurut Nisjar (1997) hal yang dapat ditempuh adalah:
1. Kerangka kerja tim (teamworks) antar organisasi, departemen dan antar wilayah.
2. Hubungan kemitraan (partnership) antara pemerintha dengan setiap unsur dalam masyarakat negara yang bersangkutan tadi sekedar kemitraan internal diantara jajaran instansi pemerintah saja.
3. Pemahaman dan komitmen akan manfaat dan arti pentinya tanggungjawab bersama dan kerjasama (cooperation) dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.
4. Adanya dukungan dan sistem kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk talking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini secara realistic dapat dikembangkan.
5. Adanya kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai internal (kode etik) administrasi publik, juga terhadap nilai etika dan moralitas yang diakui dan dijunjung tinggi secara bersama-sama dengan masyarakat yang dilayani.
6. Adanya pelayanan administrasi public yang berorientasi kepada masyarakat yang dilayani, inklusi, administrasi publik yang mudah dijangkau masyarakat dan bersifat bersahabat, berdasarkan pemerataan yang berkeadilan dalam setiap tindakan dan layanan yang diberikan kepada masyarakat, mencerminkan wajah pemerintah yang sebenarnya atau tidak menerapkan standar ganda dalam menentukan kebijakan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat berfokus pada kepentingan masyarakat dan bukannya kepentingan internal organisasi pemerintah, bersikap professional dan bersikap tidak memihak.  

Tiga pilar untuk menyokong konsepsi pemerintahan yang baik yaitu pemerintah, dunia usaha atau sector swasta dan masyarakat madani sejalan dengan konsepsi dan prinsip “Reinventing Government” (David Osborne dan Ted Gaebler). Pemerintah hendaknya berperan sebagai katalis di mana pemerintah hanya dibatasi pada peran “steering rather than rowing”.
Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) menghendaki adanya akuntabilitas, transparansi, ketebukaan dan rule of law. Sementara pemerintahan yang bersih menurut terbebasnya praktek yang menyimpang (mal-administration) dari “etika administrasi negara”. Sedang pemerintah yang berwibawa menuntut adanya ketundukan, ketaatan dan kepatuhan (compliance) rakyat terhadap undang-undang, pemerintah dan kebijakan pemerintah.
Dapat disimpulkan, pemerintah memainkan peranan sentral dalam membentuk frame work legal institusional dan regulator di mana dalam frame work ini “governance systems” dikembangkan. Dengan penerapan good governance atau kepemerintahan yang baik dalam organisasi kepemerintahan sudah dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang seharusnya, maka secara otomatis hal tersebut akan memudahkan pelaksanaan kegiatan disegala bidang, tak terkecuali pula hal tersebut juga akan membantu penerapan good corporate governance di sektor swasta. 


BAB III
PENUTUP
Krisis nasional yang dihadapi bangsa Indonesia di penghujung abad 20 tidak lepas dari kegagalan dalam mengembangkan system penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembanngunan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip good governance. Perjuangan untuk melakukan reformasi  di segala bidang telah membuahkan dasar-dasar perubahan dibidang manajemen pemerintahan. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah memainkan peran sentral dalam membentuk framework institusional dan regulator dimana dalam framework ini ‘good governance system’ dikembangkan. Tanpa adanya framework yang mendukung, ‘governance’ tidak dapat berjalan maksimal. Terwujudnya penerapan good governance dalam organisasi pemerintahan merupakan tuntutan bagi terselenggaranya manajemen pemerintahan dan pembanggunan yang berdayaguna, berhasil guna, dan bebas korupsi kolusi dan nepotisme.
Berkaitan dengan hal  tersebut diperlukan system akuntabilitas, system transparansi, keterbukaan, dan aturan hukum yang  baik dan sesuai dengan harapan dan tuntutan kebutuhan pada seluruh jajaran  aparatur negara. Dengan demikian, maka wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efektif dan efisien, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat madani, diharapkan dapat segera tercapai.


DAFTAR PUSTAKA
Sedarmayanti.2004.Good Governance (Kepemerintahan yang Baik).Mandar Maju:Bandung.
Sumarto, Hetifah.2009.Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance.Yayasan Obor Indonesia:Jakarta.

Rabu, 09 Januari 2013

Untuk Dosen

Ketika seorang dosen dituntut untuk membuat soal ujian mata kuliah Akuntansi, Administrasi Perpajakan, atau sejenisnya untuk mahasiswa, sudah seharusnya dosen yang bersangkutan memperhitungkan dan mempertimbangkan waktu untuk: membaca soal, menganalisis soal, berfikir untuk menjawab, menghitung, dan menulis jawaban

Selasa, 08 Januari 2013

Model Analisis Kualitatif dalam Evaluasi Kebijakan


Akar Metode Evaluasi Kualitatif
Akar filosofi metode kualitatif menekankan pentingnya pemahaman makna dari perilaku manusia dan konteks sosio-budaya suatu interaksi sosial. Ini termasuk mengembangkan pemahaman empatik berdasarkan pengalaman subjektif, dan pemahaman hubungan antara persepsi personal dan perilaku. Perspektif kualitatif ”sama sekali tidak menyarankan bahwa peneliti kurang memiliki kemampuan yang bersifat ilmiah selama mengumpulkan data. Sebaliknya, itu semata-mata menetapkan bahwa hal itu berbahaya untuk validitas, dan konsekuensinya untuk reliabilitas mencoba melukiskan dunia sosial secara empiris seperti yang ada sesungguhnya pada saat penyelidikan, lebih dari pada seperti yang dibayangkan oleh peneliti” (Filstead, 1970, hal.4 dalam Metode Evaluasi Kualitatif, Michael Quinn Patton, 2006). Setiap tehnik penelitian lapangan seperti pengamatan berpartisipasi, wawancara mendalam, penggambaran secara detail dan studi kasus khususnya, termasuk memotret dunia seperti yang dipahami oleh orang yang diteliti, sebaik seperti pemahaman yang dimiliki  oleh peneliti.

Evaluasi Praktis Metode Kualitatif
Pada sisi praktis, namun demikian, kebutuhan orang tidaklah memecahkan persoalan filsafat keilmuan dalam menggunakan metode kualitatif. Tidak pula perlu menjadi orang yang mempertahankan kemurnian metode kualitatif.  Data kualitatif dapat dikumpulkan dan digunakan dalam kaitan dengan data kuantitatif. Titik awal untuk penggunaan metode kualitatif sesederhana minat mengamati dan mengajukan pertanyaan diseputar latar dunia nyata.
Tantangan utama dalam evaluasi adalah mencocokan metode penelitian dengan nuansa pertanyaan evaluasi tertentu dan indiosinkrasis kebutuhan pemangku kepentingan yang khusus. Untuk mempertemukan tantangan ini, evaluator membutuhkan daftar kemempuan yang luas perihal metode dan tehnik penelitian untuk digunakan dalam berbagai varian persoalan. Selanjutnya evaluator mungkin bertugas menggunakan satu dan semua metode penelitian ilmu sosial, termasuk analisis data kuantitatif, hasil dari kuisioner, analisis data sekunder, analisis biaya keuntungan dan biaya efektivitas, test baku, rancangan eksperimental, pengukuran secara tersembunyi, pengamatan berpartisipasi, dan wawancara mendalam. Evaluator bekerja dengan pemangku kepentingan untuk merancang evaluasi termasuk semua data yang akan menolong membuka cahaya ke arah pertanyaan evaluasi yang penting, memberi tekanan pada sumber daya dan waktu. Evaluator seperti itu memegang teguh rancangan penelitian yang berhubungan, penuh makna, dapat dipahami, dan dapat menghasilkan hal yang bermanfaat, valid, reliabel, dan dapat dipercaya. Dalam banyak kesempatan variasi tehnik pengumpulan data dan rancangan pendekatan bisa digunakan secara bersamaan. Metode ganda dan variasi sumber data dapat menyokong kerasnya metodologi.

Proses Evaluasi Metode Kualitatif
Proses evaluasi kebanyakan memerlukan deskripsi rinci tentang berjalannya suatu program. Setiap deskripsi bisa jadi berdasarkan pada observasi dan atau wawancara dengan staf, klien, dan petugas administrasi program. Banyak proses evaluasi terpusat pada bagaimana program itu dirasakan oleh peserta dan staf. Berupaya membangkitkan penggambaran secara tepat dan rinci jalannya suatu program terutama membiarkan diri menggunakan metode kualiatif.
“Proses” sebagai fokus dalam evaluasi berimplikasi pada penekanan dalam melihat bagaimana hasil atau keluaran itu dihasilkan dari pada hanya melihat hasilnya semata; itulah, suatu analisis proses dengan mana suatu program membuahkan hasil. Proses evaluasi itu berkembang, deskriptif, berkesinambungan, luwes, dan induktif.
Evaluator proses mengedepankan pemahaman dan mendokumentasi realitas dari hari ke hari suatu program selama pengkajian. Evaluator mencoba mengurai apa yang sesungguhnya terjadi pada suatu program dalam pencarian pola utama dan nuansa penting yang memberi karakter program. Proses evaluasi mensyaratkan adanya kepekaan baik kualitatif maupun kuantitatif yang berubah dalam program selama perkembangannya; artinya menjadi sangat akrab dengan hal rinci suatu program. Proses evaluasi memandang tidak hanya aktivitas formal dan hasil yang diharapkan, tetapi juga menyelidiki pola-pola tidak formal dan akibat yang tidak diharapkan dalam konteks yang penuh dari implementasi program dan perkembangannya. Akhirnya, proses evaluasi biasanya memasukkan persepsi orang dekat dengan program mengenai bagaimana semuanya berjalan. Variasi perspektif bisa dilihat dari orang, dalam hubungan yang tidak sama dengan program dari dalam dan dari luar sumber.
Proses evaluasi mengijinkan pengambilan keputusan dan pengguna informasi memahami dinamika berjalannya suatu program. Setiap pemahaman memungkinkan orang memutuskan tentang luasan program yang berjalan seperti seharusnya dijalankan. Proses evaluasi pada umumnya berguna untuk menyatakan cakupan di situ program dapat dikembangkan, seperti halnya menyoroti kekuatan program yang harus dipelihara. Proses evaluasi juga berguna dalam memungkinkan masyarakat untuk tidak terlibat secara dekat dalam program, sebagai contoh, pemberi dana dari luar, pegawai pemerintah, dan agensi dari untuk memahami bagaimana program berjalan. Ini memungkinkan orang luar untuk membuat keputusan yang lebih cerdas tentang tanggung jawab mereka sendiri mengenai suatu program. Akhirnya, proses evaluasi pada umumnya berguna untuk menyebarluaskan  gagasan dan meniru program dibawah suatu kondisi, dimana program itu telah dilakukan sebagai proyek percontohan atau dipertimbangkan sebagai model yang berguna untuk ditiru ditempat lain.

Evaluasi Kualitas Metode Kualitatif
Ada banyak aspek berkenaan dengan berjalannya program, termasuk kegiatan implementasi dan hasil yang diperoleh klien, yang dapat diukur dalam pengertian jumlah secara relatif. Adalah masuk akal menghitung jumlah orang yang memasuki program, jumlah yang meninggalkan program, dan jumlah yang menerima atau melaporkan suatu keuntungan kongkret dari program. Ada banyak sifat dari program, namun demikian, janganlah meminjamkannya untuk menghitung. Meskipun penskalaan sifat kualitas caranya tidak tepat dalam menangkap, baik kualitas program maupun efek dari program pada kualitas yang dialami oleh peserta yang mengikuti program.
Ketentuan yang sama berkenaan dengan program yang menekankan deinstitusionalisasi, sebagai contoh, program kesehatan mental masyarakat, koreksi masyarakat, dan program berbasis komunitas untuk orang tua. Adalah mungkin untuk menghitung orang yang tinggal di komunitas. Adalah mungkin meski mengukur dengan skala baku atribut tertentu atas kehidupan mereka. Adalah mungkin menengarainya secara subjektif dari berbagai aspek dan dimensi kualitas hidup. Namun demikian, memegang secara penuh makna perubahan dalam hidup untuk klien tertentu dan orang per orang, adalah perlu membangun deskripsi kualitas hidup yang memungkinkan bagian kualitas yang saling tergantung diintegrasikan ke dalam keseluruhan.
Kualitas haruslah berkenaan dengan nuansa, dengan kerincian, dengan suatu kehalusan dan keunikan yang membuat perbedan di balik masalah skala yang dibakukan. Kualitas adalah apa yang dipisahkan dan jatuh di antara nilai tersebut pada skala yang baku. Deskripsi mengenai kualitas menyediakan rincian guna menjelaskan seperti apa kehidupan dua orang yang berbeda, satu darinya menjawab pada skala nilai lima bahwa orang yang satu atau yang lain telah mendapatkan pengalaman amat sangat memuaskan, kemudian lainnya melaporkan bahwa orang yang satu atau yang lain telah mendapatkan pengalaman yang luar biasa memuaskan. Hal ini bukanlah pertanyaan mengenai interval melawan skala ordinal, tetapi berkenaan dengan soal makna. Apa makna program bagi peserta?, apa kualitas dari pengamalan meraka?, menjawab pertanyaan itu memerlukan kerincian, kedalaman, dan gambaran menyeluruh yang mewakili orang dalam terminologinya, bahkan cukup amat dekat dengan situasi yang sedang dipelajari guna memahami secara langsung nuansa mengenai kualitas.

Teori Grounded dan Evaluasi Program
Deangan cara bertentangan dengan logika, penyusunan teori deduktif, pendekatan teori grounded dalam penelitian evaluasi adalah induktif, pragmatis, dan sepenuhnya nyata. Tugas evaluator adalah membangkitkan teori program dan data holistik yang dikumpulkan melalui penyelidikan naturalistik untuk tujuan menolong staf program dan pembuat keputusan guna memahami bagaimana fungsi program, mengapa berfungsi seperti itu, dan cara bagaimana dampak/ konsekuensi/ hasil dari program mengalir dari kegiatan program. Staf program dan pembuat keputusan program lainnya dapat mengunakan suatu teori grounded untuk menguji secara nyata teori tindakan mengenai program yang mereka miliki, efek dari program, dan hubungan antara tindakan dan efeknya. Teori grounded dapat melayani pembuat keputusan ke dalam dunia empiris, kemudian mereka dapat menyingkap apakah yang mereka pikirkan menjadi sifat dunia empiris sebagai kasus aktual. Teori grounded dapat menyediakan informasi berguna yang bermanfaat untuk staf program dan pembuat keputusan lainnya, dalam upaya mereka memahami dan meningkatkan program mereka. Teori evaluasi grounded akan menjadi berguna terutama dalam pertimbangan apakah satu program harus digandakan ke lingkup situasi yang lain dan bagaimana suatu penggandaan itu bisa terjadi.

Skenario Rancangan Evaluasi:

1. Pendekatan Hipotetiko-Deduktif Murni terhadap Evaluasi: Rancangan Eksperimental, Data Kuantitatif, dan Analisis Statistik
Evaluator menyatakan bahwa suatu program kekurangan sumber daya yang memadai guna melayani kebutuhan semua pemuda dalam populasi yang menjadi sasaran. Ini menyediakan pembenaran etis untuk hak ijin masuk secara acak kedalam program, dengan itu tidak menerima penempatan pada daftar tunggu yang kadang-kadang tidak menerima intervensi  perlakuan dan oleh karena itu mampu melayani sebagai kelompok kontrol.
Ketika semua data telah dikumpulkan pada akhir tahun, perbandingan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dibuat dengan menggunakan statistik inferensial dengan tingkat 0,05, digunakan sebagai kriteria untuk menentukan perbedaan antar kelompok yang secara statistik signifikan.

2.   Strategi Kualitatif Murni: Penyelidikan Naturalistik, Data Kualitatif, dan Analisis Isi
Prosedur untuk mencari dan menyeleksi partisipan ke dalam program ditentukan semata-mata oleh staf. Evaluator menemukan waktu yang menyenangkan untuk melakukan wawancara mendalam dengan partisipan segera ketika mereka diterima dalam program. Partisipan ditanyai guna menggambarkan dirinya dan dunia sosial mereka. Evaluator mencari tahu dari staf program ketika kegiatan program akan mengambil tempat dan mengamati berikut ini: tingkah laku partisipan, percakapan partisipan, tingkah laku staf, interaksi staf dan partisipan, dan gejala yang berhubungan. Selama waktu program, evaluator menemukan peluang informal untuk melakukan wawancara mendalam tambahan dengan partisipan guna mencari tahu bagaimana mereka memandang program, pengalaman macam apa yang mereka peroleh, dan apa yang mereka lakukan. Dekat dengan akhir program, wawancara mendalam dilakukan dengan partisipan guna mencari bagaimana mereka bisa telah berubah, bagaimana mereka memandang dunia dalam hal ini pada saat ini, dan apa pengalaman mereka bagi masa depan. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan staf program. Data ini di analisis berdasarkan isinya untuk mencari tahu apa pola pengalaman partisipan yang dibawa ke program, apa karakteristik pola partisipasi mereka dalam program, dan apa pola perubahan yang dilaporkan dan diamati di antara partisipan.

3.   Bentuk Campuran: Rancangan Eksperimental, Pengumpulan Data Kualitatif, dan Analisis Isi
Seperti bentuk eksperimental murni (rancangan 1) partisipan yang potensial ditentukan secara acak untuk diberi perlakuan (treatment) dan sebagai kelompok kontrol. Wawancara mendalam dilakukan dengan semua pemuda, baik mereka yang ada dalam kelompok yang diberi perlakuan (treatment) dan mereka yang ada di kelompok kontrol sebelum program dimulai. Fokus wawancara adalah sama seperti pendekatan kualitatif murni. Wawancara dilakukan lagi pada akhir program. Analisis isi dimunculkan secara terpisah pada data dari kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Pola yang ditemukan di kelompok kontrol dan di kelompok eksperimen kemudian di bandingkan dan dipertentangkan.


DAFTAR PUSTAKA

Quinn Patton, Michael. 2006. Metode Evaluasi Kualitatif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan sebagai Strategi Peningkatan Kepatuhan dan Kesadaran Wajib Pajak


A.     Latar Belakang Masalah
Penerimaan pajak merupakan sumber utama pembiayaan pemerintah dan pembangunan. Saat ini sekitar 70% APBN Indonesia dibiayai dari penerimaan pajak. Penerimaan pajak semester I-2012 mencapai Rp 387,6 trilyun atau sekitar 45 persen dari target tahun 2012.
Salah satu penerimaan pajak yang cukup signifikan terhadap pendapatan Negara Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Menurut Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik hampir dua kali lipat dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yaitu dari Rp 123 triliun pada tahun 2006 menjadi 232,2 triliun pada tahun 2010. Angka ini lebih kurang 30% dari total penerimaan Negara dari pajak. Untuk tahun 2011 penerimaan PPN mencapai 277,73 triliun, jika dibandingkan dengan penerimaan PPN tahun 2010, maka penerimaan PPN mengalami peningkatan, tetapi apabila dilihat dari perjenis pajaknya untuk tahun 2011, maka PPN memiliki pencapaian target paling rendah. Meskipun demikian, PPN mengalami kinerja pertumbuhan sebesar 20,45%, yang tergolong relatif baik.
Kurang tercapainya penerimaan PPN tidak lain disebabkan karena tingkat kepatuhan pelaku usaha dalam menyetor PPN masih rendah dan juga bahwa masih banyak transaksi yang tidak tercatat atau yang dikenal dengan ekonomi bawah tanah (Underground Economy), sehingga penerimaan PPN tidak mencapai target. Manurung (2002) menemukan bahwa sekitar 22% untuk setiap Kanwil Pajak terdapat Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bukan pembayar pajak.
Peran serta Wajib Pajak dalam sistem pemungutan pajak sangat menentukan tercapainya target penerimaan pajak. Penerimaan pajak yang optimal dapat dilihat dari berimbangnya tingkat penerimaan pajak aktual dengan penerimaan pajak potensial atau tidak terjadi tax gap. Oleh karena itu, kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak merupakan faktor penting yang mempengaruhi realisasi penerimaan pajak.

Namun, berbagai kasus yang menyeret aparatur pajak dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan skeptisisme wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.  Sementara di sisi lain, negara masih mengharapkan pajak sebagai sumber utama pendapatan. Tuntutan akan peningkatan penerimaan, peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak serta perbaikan-perbaikan dan perubahan mendasar dalam segala aspek perpajakan menjadi alasan perlu dilakukannya reformasi perpajakan melalui modernisasi sistem administrasi perpajakan.
B.      Perumusan Masalah
Bagaimana Strategi Peningkatan Kepatuhan dan Kesadaran Wajib Pajak melalui modernisasi sistem administrasi perpajakan?
C.      Kerangka Teori
Pada hakekatnya kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem administrasi perpajakan yang meliputi tax service dan tax enforcement. Langkah langkah perbaikan administrasi diharapkan dapat mendorong kepatuhan Wajib Pajak melalui dua cara yaitu pertama, Wajib Pajak patuh karena mendapatkan pelayanan yang baik, cepat, dan menyenangkan serta pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Kedua, Wajib Pajak akan patuh karena mereka berpikir bahwa mereka akan mendapat sanksi berat akibat pajak yang tidak mereka laporkan terdeteksi sistem informasi dan administrasi perpajakan (Surjoputro dan Widodo,2004).
Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga yang berwenang menangani masalah perpajakan harus berbenah memberi pelayanan yang lebih baik kepada Wajib Pajak. Perbaikan pelayanan lewat program perubahan (Change Program), penegakan hukum dan pelaksanaan kode etik yang lebih baik harus diprioritaskan agar administrasi perpajakan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
D.     Pembahasan
Tuntutan akan peningkatan penerimaan, peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak serta perbaikan-perbaikan dan perubahan mendasar dalam segala aspek perpajakan menjadi alasan dilakukannya reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan tersebut dapat berupa penyempurnaan terhadap kebijakan perpajakan dan sistem administrasi perpajakan sehingga bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam mematuhi kewajiban perpajakannya, meningkatkan tanggung jawab aparatur pemerintah agar tidak melakukan kecurangan dan melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya dan dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak yang tersedia dapat dipungut secara optimal. Kalau ditinjau dari konsep produktivitas penerimaan pajak, jika organisasi ingin meningkatkan penerimaan pajaknya, maka organisasi harus respon terhadap perubahan yang terjadi (Generalis, 2000). Kegagalan merespon perubahan berarti melewatkan peluang atau malah menciptakan masalah. Oleh karena itu, reformasi (modernisasi) adalah hal yang tidak terhindarkan.
Konsep modernisasi administrasi perpajakan pada prinsipnya adalah merupakan perubahan pada sistem administrasi perpajakan yang dapat mengubah pola pikir dan perilaku aparat serta tata nilai organisasi sehingga dapat menjadikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi suatu institusi yang profesional dengan citra yang baik di masyarakat. Menurut Rahayu dan Lingga (2009), program reformasi administrasi perpajakan diwujudkan dalam penerapan sistem administrasi perpajakan modern yang memiliki ciri khusus antara lain struktur organisasi yang dirancang berdasarkan fungsi, tidak lagi menurut seksi-seksi berdasarkan jenis pajak, perbaikan pelayanan bagi setiap wajib pajak melalui pembentukan account representative dan compliant center untuk menampung keberatan Wajib Pajak. Sistem administrasi perpajakan modern juga mengikuti kemajuan teknologi dengan pelayanan yang berbasis e-system seperti e-SPT, e-Filing, e-Payment, dan e-Registration yang diharapkan meningkatkan mekanisme kontrol yang lebih efektif yang ditunjang dengan penerapan Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang mengatur perilaku pegawai dalam melaksanakan tugas dan pelaksanaan good governance.
Semenjak tahun 2002, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah meluncurkan program perubahan (change program) atau reformasi administrasi perpajakan yang secara singkat biasa disebut Modernisasi. Adapun jiwa dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan good governance, yaitu penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh dalam adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para wajib pajak.
Administrasi perpajakan dituntut bersifat dinamis sebagai upaya peningkatan penerapan kebijakan perpajakan yang efektif. Kriteria fisibilitas administrasi menuntut agar sistem pajak baru meminimalisir biaya administrasi (administrative cost) dan biaya kepatuhan (compliance cost) serta menjadikan administrasi pajak sebagai bagian dari kebijakan pajak (Sofyan, 2005). Menurut Slemrod dan Blumenthal (1996) dalam studi mereka di Amerika Serikat besaran compliance cost yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak relatif besar dibandingkan dengan penerimaan pajak oleh Internal Revenue Service (IRS). Mereka juga berpendapat bahwa besaran biaya kepatuhan ini dapat diminimalisir melalui penyederhanaan proses pajak meskipun masalah tersebut kadang-kadang tidak menjadi concern dalam penetapan tax policy. Wijayanti et al., (2004) menemukan bahwa modernisasi yang diharapkan meningkatkan akuntabilitas aparatur pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
Beberapa karateristik modernisasi administrasi perpajakan adalah seluruh kegiatan administrasi dilaksanakan melalui sistem administrasi yang berbasis teknologi terkini, seluruh wajib pajak diwajibkan membayar melalui kantor penerimaan secara on-line, seluruh wajib pajak diwajibkan melaporkan kewajiban perpajakannya dengan menggunakan media komputer (e-SPT) dan monitoring kepatuhan wajib pajak dilaksanakan secara intensif.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai organisasi pemerintah yang diberi wewenang untuk mengelola perpajakan menyadari sepenuhnya bahwa tanpa adanya improvisasi di bidang teknologi informasi, dinamika yang berkembang di masyarakat terutama dinamika bisnis tidak akan dapat diantisipasi (Prawirodidirdjo , 2007). Yang lebih penting lagi, pemanfaatan informasi tekhnologi secara maksimal akan mendukung program transparansi dan keterbukaan, di mana kemungkinan terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalisir.
Dukungan teknologi informasi dapat mempercepat proses pelayanan dan pemeriksaan. Dengan pengembangan basis data dalam jaringan online memungkinkan kecepatan akses informasi dan pelayanan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dan pembayaran pajak secara online yang menjadikan proses administrasinya menjadi jauh lebih sederhana.
E.      Kesimpulan
Tingkat kepatuhan dan kesadaran wajib pajak adalah suatu sikap dari wajib  pajak untuk melaksanakan semua kewajiban perpajakannya sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi, baik sanksi hukum maupun sanksi administrasi. Tingkat kepatuhan pengusaha kena pajak diukur dari:
1. Kepatuhan dan kesadaran untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak,
2. Kepatuhan dan kesadaran dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang,
3. Kepatuhan dan kesadaran untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT),
4. Kepatuhan dan kesadaran dalam pembayaran tunggakan pajak.
Modernisasi sistem administrasi perpajakan adalah proses dari penatausahaan dan pelayanan terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak yang berdasarkan fungsi dan bukan jenis pajak, dengan adanya pemisahan fungsi antara fungsi pelayanan, pengawasan, pemeriksaan, keberatan dan pembinaan yang tersebar pada masing-masing seksi teknis. Serta dalam bidang teknologi informasi, diterapkan aplikasi elektronik SPT (e-SPT) untuk pelaporan SPT secara elektronik dan aplikasi On-Line Peyment untuk pembayaran pajak. Indikator pengukuran modernisasi sistem administrasi perpajakan ini meliputi: implementasi pelayanan, strategi organisasi dengan adanya perkembangan teknologi informasi, dan budaya organisasi.

F.       Daftar Pustaka dan Referensi
Agung, Mulyo. 2009. Perpajakan Indonesia Seri PPN, PPnBM, Dan PPh Badan: Teori Dan Aplikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media
Amir, Hidayat dan Gunawan Setiyaji. 2005. Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan Indonesia . Jurnal Ekonomi Indonusa
Bawazier, Fuad. 2011. Reformasi Pajak di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 8, No. 1: 1-12
Hanggana, Sri. 2008. Analisis Diskriptif Model Peraturan PPN yang Menghambat dan yang Meningkatkan Motivasi Pengusaha Menyetor PPN. Jurnal Studi Manajemen Competence. Vol. 2, No. 1: 1-22
Jatmiko, Nugroho Agus. 2006. Pengaruh Sikap Wajib Pajak pada Pelaksanaan Sanksi Denda, Pelayanan Fiskus dan Kesadaran Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Empiris Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Semarang). Tesis Program Studi Magister Akuntansi, Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.235/KMK.03/2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 tentang Kriteria Wajib Pajak Yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
Pemerintah RI. 2007. Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta
Pemerintah RI. 2009. Undang-Undang No. 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Jakarta
Prawirodidirdjo, Suharto Arto. 2007. Analisis Pengaruh Perubahan Organisasi dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan dan Kinerja Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (Penelitian pada Kantor Pelayanan Pajak Berbasis Administrasi Modern di Lingkungan Kantor Wilayah Jakarta Khusus. Tesis Magister Manajemen, Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Tidak dipublikasi
Rahayu, Sri. 2009. Pengaruh Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada KPP Pratama Bandung. Jurnal Akuntansi. Vol. 1, No. 2: 119-138
Manurung, Romulus. 2002. Analisa Dampak Kajian Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 terhadap Penerimaan PPN Sektor Pertanian. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 6 Nomor 4, Desember 2002: 71-85.
Sofyan, Taufan Marcus. 2005. Pengaruh Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern terhadap Kepatuhan Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar. Skripsi Sarjana Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Susanto, Hari. 2011. Underground Economy. Jakarta: Baduose Media 22
Waluyo. 2007. Perpajakan Indonesia Edisi 7. Jakarta: Salemba Empat